Home » Uncategorized » Wawancara-1 KH. Ali Imron Muhammad

Wawancara-1 KH. Ali Imron Muhammad

Archives

Categories

Wawancara dilakukan di nDalem KH. Ali Imron Muhammad pada Selasa pagi, 25 Des 2012, mulai jam 06.19 sampai dengan jam 09.15:

Sekitar lima tahun yang lalu saya menghadiri acara Hai’atus Shofwah (organisasi alumni santri Abuya Sayyid Muhammad ibn Alawy al Maliki) di Malang. Acara tersebut dihadiri pimpinan Bank Muamalat untuk menjelaskan akad Qirad dan mengajak para pengurus dan anggota Hai’ah untuk ikut menanam saham (investasi) dengan akad qirad mutlaq di Bank Muamalah. Pihak  Bank Muamalah menjelaskan secara panjang lebar tentang akad qirad yang menurut berbagai referensi fikih yang dikemukakan diperbolehkan dan halal secara syar’i. Di akhir paparan saya menanyakan satu pertanyaan kepada mereka: “Kalau kami menaruh uang di Bank Muamalat, kami akan selalu mendapat keuntungan. Padahal dalam bisnis riil yang dijalankan Bank Muamalat pasti ada bisnis yang menguntungkan dan ada yang rugi. Lalu darimana uang kami mendapat keuntungan ketika Bank mengalami kerugian? Diambil dari uang mana keuntungan tersebut?” Dia menjawab: “Hadza sirrun minna. Ini rahasia perusahaan kami.”  Kemudian pimpinan bank tersebut keluar sekitar satu jam untuk mempersilakan para masyayikh. Pada saat itu ada 4 dari kalangan habaib dan 4 dari non habaib. Diantara habaib, ada Habib Zein ibn Hasan Baharun Dalwa Bangil, sementara dari kalangan non habaib antara lain saya, Ust. Ihya’, KH. Mahfud Pacet, dan KH. Muslih (?). Dalam perundingan muncul beberapa ide menanggapi paparan Bank Muamalat. Ada yang mengusulkan supaya tidak menggunakan istilah “Bank”, ada yang mendukung, ada yang menolak. Pada akhirnya saya menyampaikan hasil istikharah saya sebelumnya. Perlu diketahui bahwa pertemuan tersebut didahului oleh undangan oleh Bank Muamalat sekitar satu bulan sebelumnya dan saya berkali-kali istikharah memohon petunjuk tentang masalah tersebut. Suatu ketika saya bermimpi dalam suatu acara Diba’an di masjid bersama para alumni Abuya. Kemudian saya keluar mau buang air kecil ke toilet. Ketika keluar saya lihat hamparan halaman masjid begitu luas. Di halaman masjid tersebut tumbuh rumput-rumput hijau yang sangat subur. Di seberang sana ada orang “awe-awe” memanggil saya. Saya berusaha menuju orang tersebut. Ketika melewati halaman yang penuh ditumbuhi rumput tersebut saya kesulitan berjalan karena ternyata di bawah rumput-rumput yang subur tersebut banyak kotoran manusia. Saya sampai jingkat-jingkat jalannya. Akhirnya saya nggak jadi kesana dan saya kembali ke masjid. Bagaimana menurut hadirin makna mimpi saya itu? Para hadirin mengatakan: “Kok nggak dari tadi bilang begitu!”. Akhirnya majlis memutuskan bahwa Hai’ah al Shafwah tidak ikut berinvestasi dalam Bank Muamalat, tetapi untuk tidak mengecawakan pihak bank, ada sebagian anggota, secara  pribadi, menyimpan dananya di Bank Muamalat.

Saya pernah membaca buku karya Syaikh Ali al Shabuni yang menyatakan bahwa semua bank (tanpa kecuali) haram. Bukunya kecil, tapi buku tersebut saya berikan pada KH. Maftuhin Kebonsari Sukodadi. Coba sampean telusuri kesana.

Saya pernah membaca tulisannya KH. Masduqi Mahfud tentang “bunga” bank. Beliau mengemukakan tiga pendapat (sebagaimana juga keputusan muktamar NU) yakni: pertama, bagi orang pemalas, yaitu orang yang sebenarnya punya potensi untuk mengembangkan usahanya, dia bisa mempekerjakan orang dan membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, dia punya sawah luas, tapi karena malas dia jual sawahnya lalu uangnya ditaruh di bank. Toh sama saja dia akan mendapatkan hasil dari bank. Ini hukumnya haram. Kedua, bagi orang yang tidak punya kemampuan usaha tapi bisa bekerjasama dengan orang lain, namun orang yang akan diajak kerjasama dikuatirkan kurang amanah sehingga bisa rugi lalu sawahnya ia jual dan uangnya disimpan di bank, hukumnya syubhat. Ketiga, bagi para investor hukumnya halal.

Dalam kesempatan tersebut kiai Ali Imron juga menunjukkan sebuah kitab karya Muhammad ibn Ahmad al Syathiri berjudul Syarh al Yaquth al Nafis yang di dalamnya juga ada pembahasan tentang riba dan bank ribawi. Kitab tersebut juga mengutip fatwa Syaikh Syaltut (Syaikh al Azhar) bahwa pemerintah boleh meminjam (untuk menunjang pembangunan) dengan sistem bunga karena darurat. Menurutnya keadaan darurat membolehkan orang perorang menyimpan uang di bank. Ia berkata: kalau perorangan saja boleh bertransaksi dengan bank ribawi, apalagi negara (pemerintah). Teks asli kitab tersebut saya kutip dalam gambar.Image


Leave a comment